Tugas:
Eksposisi-Argumentasi Tesis
Mata Kuliah: Penulisan Kreatif
Dosen: Helena Rebecca
Dosen: Helena Rebecca
Oleh: Hizkia
Dwiatmaja/1400410023
Digital
Communication/Surya University
Masa
Orientasi Siswa, Masih Perlukah?
Mawar, seorang siswa yang baru menduduki kelas satu SMA, mengawali
minggunya dengan mengikuti kegiatan ospek yang dilaksanakan sekolah. Para
senior memintanya membawa pisang kembar dan tas kardus untuk dibawa esok hari,
namun Mawar tidak dapat mengabulkan permintaan seniornya. Alhasil, Mawar
dikenai sanksi berupa memberi hormat kepada tiang bendera selama acara berlangsung.
Contoh diatas menggambarkan
bagaimana dalam setiap tahun ajaran baru, para siswa selalu dihadapkan dengan
kegiatan ekstrakurikuler yang dikenal dengan ospek atau Masa Orientasi Siswa
(MOS). Tidak jarang orang tua siswa disibukkan dengan permintaan aneh dari
senior atau panitia MOS yang harus dilakukan atau didapatkan dalam jangka waktu
yang cenderung pendek. Para siswa baru selalu disodorkan oleh persoalan yang
sudah membudaya dalam lembaga pendidikan Indonesia, yang sebenarnya tidak
memiliki dampak baik bagi kepribadian mereka dalam pembelajaran setelah masa
orientasi tersebut.
MOS didesain sedemikian rupa
sebagai lambang pengenalan sekolah atau pengenalan kampus dengan berbagai macam
kegiatan yang diberikan. Kegiatan seperti baris-berbaris, berlari-larian,
menyanyi, ceramah, atau bakti sosial menjadi agenda yang umum yang dianggap
dapat mendekatkan siswa satu sama lain dan membentuk kepribadian. Namun,
hukuman seperti serangan verbal maupun kekerasan fisik selalu terlihat dalam
acara, dimana hukuman tersebut tidak selalu mendidik dan justru mencerminkan
dampak yang menyedihkan bagi lembaga pendidikan di Indonesia.
Kegiatan baris-berbaris yang sudah
dianggap menjadi salah satu acara besar dalam orientasi pada dasarnya tidaklah
edukatif. Kegiatan semacam ini tidak akan digunakan dalam masa pembelajaran
siswa dimasa depan. Lantas, apakah tujuan sebenarnya dari kegiatan
baris-berbaris tersebut? Bila alasan yang dipercaya hanyalah demi kedisiplinan
siswa, bukankah kedisiplinan dapat lebih efektif diajarkan ketika dalam masa
pembelajaran? Seperti dengan memberi sanksi dengan mengurangi nilai pelajaran
ketika siswa terlambat hadir dalam kelas ataupun dengan pekerjaan rumah
tambahan. Pada intinya, kegiatan baris-berbaris tidaklah memberi siswa makna
yang signifikan yang dapat membantu mereka dalam pembelajaran akademis, lain
halnya dengan siswa yang ingin menjadikan dirinya sebagai TNI atau Polri yang
membutuhkan bekal seperti kegiatan tersebut.
Bagaimana dengan kegiatan lain
orientasi seperti berlari-larian, olahraga, menyanyi, berdiskusi, sampai membuat
yel-yel dan mengumpulkan barang yang
tidak wajar? Hal-hal tersebut tidak semuanya bermanfaat dan dapat dilaksanakan
pada waktu juga kegiatan lain. Bila kegiatan tersebut dilakukan untuk
kesenangan maupun keakraban semata, setiap siswa dapat menjadi akrab dengan
sendirinya ketika mereka saling bertemu, berinteraksi, kemudian mengenal dalam
sekolah maupun dalam kelas yang sama. Kegiatan keakraban semacam ini juga bisa
ditingkatkan lebih khususnya seperti dalam masa keakraban siswa atau study tour. Dalam masa keakraban siswa,
mereka akan lebih dekat mengenal satu dengan yang lainnya tanpa adanya paksaan
dan senioritas. Tujuan dalam masa keakraban menjadi lebih jelas daripada masa
orientasi yang dilaksanakan tanpa pedoman yang jelas. Sedangkan kegiatan
seperti berolahraga, berlari-larian, dan bernyanyi juga bisa didapatkan siswa
diluar waktu pembelajaran, seperti contoh dalam mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler olahraga dan paduan suara.
Sekolah atau kampus yang mengisi
kegiatan orientasi dengan ceramah bila dilihat dari kacamata kajian pendidikan,
setidaknya lebih berguna dibandingkan dengan kegiatan kurang mendidik lainnya.
Hanya saja, perlu dipikirkan ceramah seperti apa yang diberikan bagi siswa saat
acara orientasi. Ceramah umum seperti wawasan kebangsaan dan pancasila
seharusnya telah dan bisa didapatkan dalam pelajaran pendidikan
kewarganegaraan. Sedangkan ceramah dengan topik yang lebih khusus seperti
pengenalan HIV/AIDS, nyamuk demam berdarah, ataupun guna air bersih, tidak
harus dilakukan saat orientasi. Siswa dapat menghadiri seminar yang dapat
bersifat diwajibkan oleh guru. Hal seperti ini akan lebih efisien dan efektif
dalam penyampaian juga waktu dibandingkan meluangkan rata-rata satu minggu
penuh dalam mengikuti acara orientasi.
Dalam mengikuti kegiatan orientasi
dimana siswa dituntut bermacam-macam akan hal yang tidak wajar, siswa juga
seakan “dihipnotis” untuk menjadi disiplin dan mandiri. Akibatnya tidak jarang
ritual ini mengakibatkan siswa terharu bahkan menangis, serta meyakinkan siswa didik
dapat bersikap baik. Pola semacam ini sering dianggap sebagai nuansa baru pendidikan
dalam MOS. Namun bila ditelusuri lebih dalam, ketika seorang siswa ditanya
apakah pengaruhnya, jawabannya tidak ada yang dirasakan terhadap dirinya bagi
pendidikan setelah melalui kegiatan orientasi seperti itu. Tetapi ada hal yang
lebih menarik mengenai konsep pendidikan dimana beberapa guru meyakini kegiatan
dalam orientasi bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki kebiasaan buruk siswa.
Hal ini menunjukkan pandangan guru dan lembaga pendidikan bagaimana siswa yang
baru memulai jenjang pendidikannya selalu membawa kebiasaan buruk yang harus
diperbaiki. Sungguh betapa buruknya paradigma yang dibuat oleh lembaga
pendidikan serta gurunya terhadap siswa yang akan masuk sekolah di tahun ajaran
yang baru.
Akhir kata, banyak cara yang dapat
dilaksanakan untuk mendisiplinkan peserta didik dengan cara yang positif diluar
kegiatan orientasi. Siswa sebaiknya lebih diajarkan cara-cara menyelesaikan
masalah tanpa kekerasan diikuti dengan pedoman yang jelas. Tindakan siswa yang
berpotensi kekerasan fisik maupun verbal harus dihentikan dan dikontrol dengan
tegas. Kegiatan tidak edukatif dimana para siswa yunior terlihat tidak berdaya,
dan hanya berdasarkan alasan revolusi mental dan perilaku, apakah benar
kegiatan semacam ini menjadi strategi yang tepat? Maka secara jelas dapat
disimpulkan bahwa kegiatan semacam ini sangat kurang atau tidak memiliki nilai
yang mendidik juga nilai pembinaan, melainkan hanya anggapan nilai kelucuan
belaka yang sebenarnya tidak lucu pula, serta menyedihkan karena mengaburkan
nilai pendidikan yang sebenarnya dalam suatu lembaga pendidikan.
Sumber referensi: http://sanaky.staff.uii.ac.id/2012/07/13/masa-orientasi-siswa-dan-masa-perkenalan-mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar