Minggu, 22 November 2015

Eksposisi: Masa Orientasi Siswa, Masih Perlukah?



Tugas: Eksposisi-Argumentasi Tesis 
Mata Kuliah: Penulisan Kreatif
Dosen: Helena Rebecca
Oleh: Hizkia Dwiatmaja/1400410023
Digital Communication/Surya University


Masa Orientasi Siswa, Masih Perlukah?


Mawar, seorang siswa yang baru menduduki kelas satu SMA, mengawali minggunya dengan mengikuti kegiatan ospek yang dilaksanakan sekolah. Para senior memintanya membawa pisang kembar dan tas kardus untuk dibawa esok hari, namun Mawar tidak dapat mengabulkan permintaan seniornya. Alhasil, Mawar dikenai sanksi berupa memberi hormat kepada tiang bendera selama acara berlangsung.

Contoh diatas menggambarkan bagaimana dalam setiap tahun ajaran baru, para siswa selalu dihadapkan dengan kegiatan ekstrakurikuler yang dikenal dengan ospek atau Masa Orientasi Siswa (MOS). Tidak jarang orang tua siswa disibukkan dengan permintaan aneh dari senior atau panitia MOS yang harus dilakukan atau didapatkan dalam jangka waktu yang cenderung pendek. Para siswa baru selalu disodorkan oleh persoalan yang sudah membudaya dalam lembaga pendidikan Indonesia, yang sebenarnya tidak memiliki dampak baik bagi kepribadian mereka dalam pembelajaran setelah masa orientasi tersebut.

MOS didesain sedemikian rupa sebagai lambang pengenalan sekolah atau pengenalan kampus dengan berbagai macam kegiatan yang diberikan. Kegiatan seperti baris-berbaris, berlari-larian, menyanyi, ceramah, atau bakti sosial menjadi agenda yang umum yang dianggap dapat mendekatkan siswa satu sama lain dan membentuk kepribadian. Namun, hukuman seperti serangan verbal maupun kekerasan fisik selalu terlihat dalam acara, dimana hukuman tersebut tidak selalu mendidik dan justru mencerminkan dampak yang menyedihkan bagi lembaga pendidikan di Indonesia.
Kegiatan baris-berbaris yang sudah dianggap menjadi salah satu acara besar dalam orientasi pada dasarnya tidaklah edukatif. Kegiatan semacam ini tidak akan digunakan dalam masa pembelajaran siswa dimasa depan. Lantas, apakah tujuan sebenarnya dari kegiatan baris-berbaris tersebut? Bila alasan yang dipercaya hanyalah demi kedisiplinan siswa, bukankah kedisiplinan dapat lebih efektif diajarkan ketika dalam masa pembelajaran? Seperti dengan memberi sanksi dengan mengurangi nilai pelajaran ketika siswa terlambat hadir dalam kelas ataupun dengan pekerjaan rumah tambahan. Pada intinya, kegiatan baris-berbaris tidaklah memberi siswa makna yang signifikan yang dapat membantu mereka dalam pembelajaran akademis, lain halnya dengan siswa yang ingin menjadikan dirinya sebagai TNI atau Polri yang membutuhkan bekal seperti kegiatan tersebut.
Bagaimana dengan kegiatan lain orientasi seperti berlari-larian, olahraga, menyanyi, berdiskusi, sampai membuat yel-yel dan mengumpulkan barang yang tidak wajar? Hal-hal tersebut tidak semuanya bermanfaat dan dapat dilaksanakan pada waktu juga kegiatan lain. Bila kegiatan tersebut dilakukan untuk kesenangan maupun keakraban semata, setiap siswa dapat menjadi akrab dengan sendirinya ketika mereka saling bertemu, berinteraksi, kemudian mengenal dalam sekolah maupun dalam kelas yang sama. Kegiatan keakraban semacam ini juga bisa ditingkatkan lebih khususnya seperti dalam masa keakraban siswa atau study tour. Dalam masa keakraban siswa, mereka akan lebih dekat mengenal satu dengan yang lainnya tanpa adanya paksaan dan senioritas. Tujuan dalam masa keakraban menjadi lebih jelas daripada masa orientasi yang dilaksanakan tanpa pedoman yang jelas. Sedangkan kegiatan seperti berolahraga, berlari-larian, dan bernyanyi juga bisa didapatkan siswa diluar waktu pembelajaran, seperti contoh dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler olahraga dan paduan suara.
Sekolah atau kampus yang mengisi kegiatan orientasi dengan ceramah bila dilihat dari kacamata kajian pendidikan, setidaknya lebih berguna dibandingkan dengan kegiatan kurang mendidik lainnya. Hanya saja, perlu dipikirkan ceramah seperti apa yang diberikan bagi siswa saat acara orientasi. Ceramah umum seperti wawasan kebangsaan dan pancasila seharusnya telah dan bisa didapatkan dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Sedangkan ceramah dengan topik yang lebih khusus seperti pengenalan HIV/AIDS, nyamuk demam berdarah, ataupun guna air bersih, tidak harus dilakukan saat orientasi. Siswa dapat menghadiri seminar yang dapat bersifat diwajibkan oleh guru. Hal seperti ini akan lebih efisien dan efektif dalam penyampaian juga waktu dibandingkan meluangkan rata-rata satu minggu penuh dalam mengikuti acara orientasi.
Dalam mengikuti kegiatan orientasi dimana siswa dituntut bermacam-macam akan hal yang tidak wajar, siswa juga seakan “dihipnotis” untuk menjadi disiplin dan mandiri. Akibatnya tidak jarang ritual ini mengakibatkan siswa terharu bahkan menangis, serta meyakinkan siswa didik dapat bersikap baik. Pola semacam ini sering dianggap sebagai nuansa baru pendidikan dalam MOS. Namun bila ditelusuri lebih dalam, ketika seorang siswa ditanya apakah pengaruhnya, jawabannya tidak ada yang dirasakan terhadap dirinya bagi pendidikan setelah melalui kegiatan orientasi seperti itu. Tetapi ada hal yang lebih menarik mengenai konsep pendidikan dimana beberapa guru meyakini kegiatan dalam orientasi bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki kebiasaan buruk siswa. Hal ini menunjukkan pandangan guru dan lembaga pendidikan bagaimana siswa yang baru memulai jenjang pendidikannya selalu membawa kebiasaan buruk yang harus diperbaiki. Sungguh betapa buruknya paradigma yang dibuat oleh lembaga pendidikan serta gurunya terhadap siswa yang akan masuk sekolah di tahun ajaran yang baru.
Akhir kata, banyak cara yang dapat dilaksanakan untuk mendisiplinkan peserta didik dengan cara yang positif diluar kegiatan orientasi. Siswa sebaiknya lebih diajarkan cara-cara menyelesaikan masalah tanpa kekerasan diikuti dengan pedoman yang jelas. Tindakan siswa yang berpotensi kekerasan fisik maupun verbal harus dihentikan dan dikontrol dengan tegas. Kegiatan tidak edukatif dimana para siswa yunior terlihat tidak berdaya, dan hanya berdasarkan alasan revolusi mental dan perilaku, apakah benar kegiatan semacam ini menjadi strategi yang tepat? Maka secara jelas dapat disimpulkan bahwa kegiatan semacam ini sangat kurang atau tidak memiliki nilai yang mendidik juga nilai pembinaan, melainkan hanya anggapan nilai kelucuan belaka yang sebenarnya tidak lucu pula, serta menyedihkan karena mengaburkan nilai pendidikan yang sebenarnya dalam suatu lembaga pendidikan.
Sumber referensi: http://sanaky.staff.uii.ac.id/2012/07/13/masa-orientasi-siswa-dan-masa-perkenalan-mahasiswa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar