Tugas: Cerpen (Versi pendek)
Mata Kuliah: Penulisan Kreatif
Mata Kuliah: Penulisan Kreatif
Oleh: Hizkia Dwiatmaja
1400410023/Digital Communication
Surya University
Adaptasi: Manga
Kalau Begitu, Aku Akan Pergi Terlebih Dahulu
Aku benci dengan keramaian. Tempat
dimana orang-orang berkumpul membuatku merasa tidak nyaman. Namun disinilah aku
selalu menemukan diriku. Langit-langit yang rendah, tempat yang sesak, juga
suara-suara bising yang tidak pernah berhenti. Tempat ini bagaikan tempat
pengasingan yang sudah menjadi ritual sehari-hariku setiap perjalanan dari dan menuju
sekolah. Pria, wanita, remaja, orang-orang tua dari berbagai latar dan masalah,
tidak terlepas dari tempat ini. Aku berdiam dalam kebisingan sambil menyeka
rambut panjangku, berharap untuk mengurangi hawa pengap yang kurasakan. Mendengar
teriakan-teriakan seperti “Hei kau!”, “Bahumu menyenggolku!”, juga makian
seperti “Bodoh!”, bagaikan seni penghias ruangan yang selalu baru. Meski aku
melaluinya setiap hari, aku tetap tidak pernah merasa terbiasa dengan suasana
seperti ini.
“PLAK!” Tiba-tiba suara keras terdengar.
“Aduh!”,
teriakku spontan. Aku segera menoleh kebelakang dan mendapati tangan seorang
petugas muda tidak sengaja menghantamku. Ia yang berparas cukup tampan dengan
badan yang tagap kembali menatapku. Jangankan permintaan maaf, aku justru
dibalas dengan tatapannya yang tajam dan sinis. Dasar paras saja yang elok,
tetapi kepribadiannya tidak sopan. Apa sih
masalahnya petugas itu? Omelku dalam hati.
“Grak, grak, grak..,” suara bising
kereta api membaur dengan segala perasaan kesalku dan berbagai percakapan yang
tidak bisa kudengar. Aku pergi meninggalkan gerbong yang sesak dan mulai
berjalan menuju tulisan “Keluar” yang terpampang cukup besar di langit-langit
stasiun Saitama. Langkahku terhenti sesaat ketika pandanganku terfokus pada
salah satu papan kapur yang terpasang di dinding. Ah, seseorang membuat sesuatu
pada papan buletin jadwal kereta. Rupanya masih ada ya, yang menggunakan benda
itu, gumamku penasaran. Aku mulai mengamati papan buletin tersebut dan tidak
melihat adanya tulisan jadwal jalur kereta. Aku hanya mendapati sebuah
ilustrasi berukuran kecil dari kapur yang menggambarkan sebuah persegi panjang
dengan kotak-kotak kecil dan seorang stickman
terbalik disampingnya. Ya, itu merupakan gambaran seseorang melompat dari
gedung bertingkat. Tepat disebelah kirinya, terdapat tulisan “Aku akan pergi
terlebih dahulu.” Ahh, cukup sudah. Pesan yang bodoh, petugas yang bodoh,
penumpang yang bodoh. Aku lelah dan ingin segera beristirahat. Semoga esok hari
aku bisa tabah dengan semua hal seperti itu, pikirku sambil berjalan pulang.
Matahari pagi sudah bersinar, hari
sudah berganti. Aku bergegas menuju stasiun, karena tempat itulah satu-satunya
yang menjadi penghubung rumahku dengan sekolah. Sesampainya di stasiun, aku
melewati lorong dimana papan buletin jadwal kereta berada. Rupanya, pesan di
papan buletin kemarin masih ada disana. Aku menghentikan langkahku sesaat untuk
mengamati papan tersebut yang masih lengkap dengan kapurnya. Ya, ilustrasi itu
masih ada. Gambar seseorang yang melompat dari gedung dan tulisan “Aku akan pergi
terlebih dahulu” masih tertera jelas. Namun kali ini, terdapat perbedaan pada
gambar tersebut. Pada bagian bawah gambar orang yang melompat dari gedung,
terdapat gambar seorang lain yang mengulurkan tangannya. Tulisan “Menunggumu”
tertera di sebelah gambar itu. Sepertinya seseorang telah menambahkan suatu pesan
baru di papan ini.
Dalam perjalananku kembali dari sekolah, aku kembali melewati tempat ini yang sudah menjadi
seperti magnet denganku. Ketika aku melewati papan buletin di stasiun, aku
melihat rupanya gambar pada papan masih belum dihapus. Bahkan tidak hanya itu,
tulisan-tulisan baru di sekitar gambar justru bertambah. Kata-kata seperti
“Jangan kau akhiri,” “Cintailah hidupmu,” dan “Pikirkan seseorang yang penting
bagimu,” memenuhi hampir sebagian penuh papan buletin itu.
Ketika sampai di rumah, aku berbaring
sambil melayangkan pikiranku seperti masih berada dalam keramaian stasiun. Aku
tidak ingat berapa lama aku berbaring dan melamun, sampai aku mencapai sebuah
keputusan. Sebaiknya aku pergi ke mini
market sebentar.
“Terima kasih atas langganan tetap anda,” salam sang
kasir ketika aku membayar beberapa minuman dan makanan ringan yang kupilih. Aku
melangkahkan kakiku keluar dari mini market,
berjalan dengan langkah kecil ke arah yang berlawanan dengan rumahku. Entah
mengapa aku kembali menemukan diriku di depan pintu masuk stasiun. Tanpa tujuan
yang pasti, aku masuk ke dalam lorong stasiun mendatangi tempat di mana papan
buletin berada. Aku sadar, rasa penasaranku kepada papan buletin tersebut tidak
kunjung pergi. Ketika papan tersebut sudah berada tepat di hadapanku, aku diam
terpaku menatapnya.
“Apa yang bisa kau dapatkan dari
kematian?”
“Hidup lebih baik!”
“Ada
sesuatu yang berharga yang hanya bisa kau perjuangkan ketika hidup di dunia ini.”
“Segala sesuatu pasti akan menjadi lebih
baik. Kau harus percaya.”
“STOP!!”
“Counseling
Hotline 0420-0000-0000.”
“Ubah pikiranmu sekarang.”
“Jangan lakukan!”
“Semua orang terlihat bahagia, tetapi
mereka memiliki masalah juga.”
“Marilah menyemangati satu dengan yang
lain dan tetap menjalani hidup!”
“Semakin susah suatu masalah, semakin
perlu kau tetap bertahan.”
“Aku
pengacara. Apakah kau butuh bantuan? 090-5000-0000.”
Tulisan-tulisan
tersebut memenuhi papan buletin jadwal kereta. Gambar-gambar seperti superman yang terbang menggapai orang
yang melompat dari gedung tersebut, kasur bantal di bawahnya, serta orang-orang
yang memegang trampolin, ikut menghiasi penuh papan. Pastinya jumlah orang yang
melewati papan setiap hari tidak bisa dihitung dengan jari. Ini semua tentu dibuat
oleh orang-orang yang berbeda. Padahal, bisa saja ilustrasi pertama yang
merupakan gambar orang melompat hanyalah sebuah tingkah usil belaka. Aku terlarut
dalam perasaan kagum bercampur heran.
“Mengapa kau tidak membersihkan
papannya?” Aku menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang petugas tua
senior sedang berbincang dengan petugas muda yang cukup tampan. Aku ingat,
petugas itulah yang tangannya mengenai kepalaku beberapa saat lalu, yang
memiliki paras yang sangat berlawanan dengan sikapnya. “Kalau begitu kenapa
tidak kau saja yang melakukannya, Senpai?”,
balasnya selalu dengan sikap acuh. “Aku tidak mau melakukannya, makanya aku
menyuruhmu! Bagaimanapun itu bisa mengganggu orang-orang stasiun yang masih
menggunakan papan ini.” “Hahh..,” petugas tampan tersebut menghela nafas
panjang, kemudian dengan perlahan mengambil penghapus papan tulis dan mulai
beranjak ke arah papan buletin, ya, kearahku. Aku mulai menghindar ketika ia
mulai meletakkan tangan yang memegang penghapus ke atas papan. “Ya sudah, mau
bagaimana lagi,” ujarnya.
GRAB!
Aku
terkejut melihat seorang pria setengah baya dengan pakaian formal yang lusuh
menggenggam tangan si petugas tampan yang hendak menghapus papan buletin itu.
Ia menggandeng tas di tangan kirinya, dan usianya mungkin berkisar sekiar lima
puluh tahun. Dengan suara yang sedikit gemetar ia mulai berkata, “Bisakah kau
tidak menghapusnya?”
“Hah?” balas sang petugas dengan herannya.
“Pesan pertama disitu... akulah yang
pertama kali menuliskannya.”
Mendengar kata-kata tersebut aku ikut
terkejut. Jadi dia orangnya? Pikirku sambil melangkah lebih dekat kebelakang
pria setengah baya tersebut, penasaran dengan hal berikutnya yang akan terjadi.
“Uh-huh.. Benarkah?”, tanya sang petugas
kembali.
“Ya.. aku yang menuliskannya.”
“Bukan itu maksudku.. Kau benar-benar
ingin melompat?”
Pria setengah baya itu mulai menangis
dan berkata, “Ya..,” Kemudian ia melanjutkan kalimatnya lagi, “Namun aku sudah
meninggalkan ide tersebut...”
“Tu,
tunggu sebentar,” petugas tampan itu mulai berlari ke arah suatu ruangan dimana
seniornya berada.
Terlihat kedua petugas
tersebut mulai beranjak ke arah papan buletin dan pria setengah baya yang masih
menunduk di bawahnya sambil tersedu-sedu. “Maaf pak..,” ujar petugas tua
menghampiri pria tersebut.
“Bagaimana bisa...” ujarnya dengan lesu
dan membuat suasana menjadi hening. Aku merenung sesaat kemudian mulai
melangkah mendekati ketiga pria tersebut.
“Umm, permisi,” ujarku memecah perhatian
mereka semua.
“Aku
bisa memotretnya dengan kamera digitalku. Mungkin itu bisa membuat semuanya
tenang,” saranku, yang langsung disetujui oleh mereka.
Aku mengeluarkan kamera
digital dari kantong jaket dan memulai memotret papan buletin di hadapanku. Aku
pastikan semua pesan dalam papan terpotret jelas dan tidak ada yang
terlewatkan.
“Terima kasih...,” ujar pria setengah
baya kepadaku. Air mata yang menetes di wajahnya tadi sudah tidak terlihat.
“Kalau begitu, akan kucetak fotonya
sekarang.”
“Biar kami saja yang mencetak foto itu.” Kata-kata petugas tua menyelaku sebelum aku sempat
bertindak.
Aku
menyerahkan memory card kepada
petugas tua itu dan berjanji untuk bertemu kembali besok.
Esoknya, tanpa pikir
panjang aku segera pergi menuju tempat papan buletin di stasiun. Aku melihat
petugas tua yang baru saja kutemui kemarin, namun aku tidak menemukan petugas
muda tampan didekatnya. Ketika pandangan kami bertemu, sang petugas tua itu
langsung menyapaku, “Ahh, kau gadis yang kemarin. Terima kasih atas
kameranya.”
“Aku kemari untuk mengambil memory card-ku kembali,” ujarku.
“Ya, ini.” Petugas tersebut menerahkan memory card yang ia bawa kepadaku,
setelah itu mulai bercerita.
“Jadi kelihatannya, paman itu berniat
melakukan bunuh diri gara-gara terlibat oleh hutang. Setelah menuliskan pesan
tersebut di papan buletin, ia ingin mengakhiri sisa hidupnya. Namun, ia melihat
kembali papan itu. Kata-kata yang tertulis dalam papan menelan segala perasaan
putus asanya. Ia berkata, ia akan selalu menjaga foto-foto yang dihadiahkan
kepadanya seperti menjaga hidupnya sendiri. Setelah ia mengambil foto-foto
tersebut, ia kembali mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi.”
Peristiwa
tersebut benar-benar merupakan suatu rangkaian acara yang tidak bisa kuduga.
Kelihatannya peristiwa ini tidak memiliki dampak yang besar bagi dunia, tetapi
bagiku dan pria setengah baya itu mungkin berarti.
Lima tahun telah
berlalu sejak peristiwa tersebut terjadi. Aku menemukan kembali diriku di dalam
stasiun Saitama. Perasaan yang tidak terucapkan mengalir dalam hatiku, membawa
kenangan yang ada. Aku berjalan ke lorong dimana papan buletin yang dulu
terletak, namun aku tidak mendapatkan apa-apa. Papan yang dulunya terletak di
lorong ini kini telah tiada. Aku terdiam sebentar dan mendengar sebuah suara
dari arah belakangku. “Permisi, kau ada waktu?”, aku menoleh kearah sumber
suara dan mendapati seorang pemuda yang berdiri tegap, berparas tampan, dan ia
mengenakan seragam stasiun yang biasanya hanya dapat kulihat di kantor-kantor
kelas atas disini. Aku langsung mengenali muka itu, sifat, dan nada bicara itu.
“Apakah kau perempuan yang meminjamkan
kameranya lima tahun yang lalu?”, tanyanya lagi.
“Iya, aku orangnya.”
“Sudah kuduga... Aku hanya berpikir
mungkin memberitahumu lebih baik.”
Aku mulai diam dan mendengarkannya.
“Papan buletin itu sudah disingkirkan.
Tidak ada yang menggunakannya lagi.
Beberapa hari yang lalu, seorang pria
tua menanyakan tentang papan buletin tersebut. Dialah pria yang ingin bunuh
diri dahulu. Dalam kurun waktu lima tahun, pria tersebut seolah menjadi
seseorang yang baru. Ia melunasi hutang-hutangnya dan memiliki hidup yang
stabil dengan keluarganya.”
“Luar
biasa...” Aku terkagum dan berpikir, pesan-pesan itu benar-benar membawa
harapan di kehidupan dunia nyata.
“Sejak hari itu, aku selalu mengetahui
bahwa masalah selalu muncul di kehidupan setiap orang tetapi...,” kata-katanya
terhenti sesaat.
“Sekarang, tidak peduli seberapa kacaupun
keadaan, aku selalu percaya kalau selalu ada kebaikan yang muncul di suatu
tempat,” sambungnya lagi dan menciptakan senyum di wajahku. “Tuan petugas, aku
juga merasa demikian. Papan buletin itu tidak mengubah dunia atau semacamnya,
tetapi, meski hanya sedikit saja, hal itu mengubah pandanganku tentang dunia
ini. Aku sudah dapat melewati dan bertemu dengan orang-orang dengan lebih
tenang sekarang. Selain itu, aku juga telah belajar banyak hal. Aku belajar
bagaimana peduli akan kebahagiaan orang-orang tak dikenal yang belum pernah
kutemui sebelumnya.”
“Yah, sebenarnya itu saja yang ingin
kukatakan,” ujarnya mengakhiri pembicaraan.
“Kalau
begitu, aku akan pergi terlebih dahulu,” pamitku, sambil merenungkannya dalam
hati. Ketika setiap orang mencapai satu titik dimana mereka dapat menghadapi
orang yang lain dengan tenang, suatu hal yang baik pasti akan terjadi.
“Sebelum aku
melewati papan buletin itu, aku selalu merasa sesak dengan tempat di mana para
orang-orang tak dikenal berkumpul”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar