Selasa, 20 Oktober 2015

Kalau Begitu, Aku Akan Pergi Terlebih Dahulu



Tugas: Cerpen (Versi pendek)
Mata Kuliah: Penulisan Kreatif
Oleh: Hizkia Dwiatmaja
1400410023/Digital Communication
Surya University 
Adaptasi: Manga


Kalau Begitu, Aku Akan Pergi Terlebih Dahulu


            Aku benci dengan keramaian. Tempat dimana orang-orang berkumpul membuatku merasa tidak nyaman. Namun disinilah aku selalu menemukan diriku. Langit-langit yang rendah, tempat yang sesak, juga suara-suara bising yang tidak pernah berhenti. Tempat ini bagaikan tempat pengasingan yang sudah menjadi ritual sehari-hariku setiap perjalanan dari dan menuju sekolah. Pria, wanita, remaja, orang-orang tua dari berbagai latar dan masalah, tidak terlepas dari tempat ini. Aku berdiam dalam kebisingan sambil menyeka rambut panjangku, berharap untuk mengurangi hawa pengap yang kurasakan. Mendengar teriakan-teriakan seperti “Hei kau!”, “Bahumu menyenggolku!”, juga makian seperti “Bodoh!”, bagaikan seni penghias ruangan yang selalu baru. Meski aku melaluinya setiap hari, aku tetap tidak pernah merasa terbiasa dengan suasana seperti ini. 
             “Pintu sudah terbuka, penumpang harap berhati-hati dalam melangkah,” pengumuman dari speaker sudah terdengar jelas. Aku mulai berusaha melangkahkan kaki keluar. Selain aku telah mencapai tujuanku, aku tidak ingin berada lebih lama lagi di tempat ini. Namun apa daya, gerakanku masih terhenti dalam lautan manusia di sekelilingku.
“PLAK!” Tiba-tiba suara keras terdengar.
“Aduh!”, teriakku spontan. Aku segera menoleh kebelakang dan mendapati tangan seorang petugas muda tidak sengaja menghantamku. Ia yang berparas cukup tampan dengan badan yang tagap kembali menatapku. Jangankan permintaan maaf, aku justru dibalas dengan tatapannya yang tajam dan sinis. Dasar paras saja yang elok, tetapi kepribadiannya tidak sopan. Apa sih masalahnya petugas itu? Omelku dalam hati.
            “Grak, grak, grak..,” suara bising kereta api membaur dengan segala perasaan kesalku dan berbagai percakapan yang tidak bisa kudengar. Aku pergi meninggalkan gerbong yang sesak dan mulai berjalan menuju tulisan “Keluar” yang terpampang cukup besar di langit-langit stasiun Saitama. Langkahku terhenti sesaat ketika pandanganku terfokus pada salah satu papan kapur yang terpasang di dinding. Ah, seseorang membuat sesuatu pada papan buletin jadwal kereta. Rupanya masih ada ya, yang menggunakan benda itu, gumamku penasaran. Aku mulai mengamati papan buletin tersebut dan tidak melihat adanya tulisan jadwal jalur kereta. Aku hanya mendapati sebuah ilustrasi berukuran kecil dari kapur yang menggambarkan sebuah persegi panjang dengan kotak-kotak kecil dan seorang stickman terbalik disampingnya. Ya, itu merupakan gambaran seseorang melompat dari gedung bertingkat. Tepat disebelah kirinya, terdapat tulisan “Aku akan pergi terlebih dahulu.” Ahh, cukup sudah. Pesan yang bodoh, petugas yang bodoh, penumpang yang bodoh. Aku lelah dan ingin segera beristirahat. Semoga esok hari aku bisa tabah dengan semua hal seperti itu, pikirku sambil berjalan pulang.
            Matahari pagi sudah bersinar, hari sudah berganti. Aku bergegas menuju stasiun, karena tempat itulah satu-satunya yang menjadi penghubung rumahku dengan sekolah. Sesampainya di stasiun, aku melewati lorong dimana papan buletin jadwal kereta berada. Rupanya, pesan di papan buletin kemarin masih ada disana. Aku menghentikan langkahku sesaat untuk mengamati papan tersebut yang masih lengkap dengan kapurnya. Ya, ilustrasi itu masih ada. Gambar seseorang yang melompat dari gedung dan tulisan “Aku akan pergi terlebih dahulu” masih tertera jelas. Namun kali ini, terdapat perbedaan pada gambar tersebut. Pada bagian bawah gambar orang yang melompat dari gedung, terdapat gambar seorang lain yang mengulurkan tangannya. Tulisan “Menunggumu” tertera di sebelah gambar itu. Sepertinya seseorang telah menambahkan suatu pesan baru di papan ini.
Dalam perjalananku kembali dari sekolah, aku kembali melewati tempat ini yang sudah menjadi seperti magnet denganku. Ketika aku melewati papan buletin di stasiun, aku melihat rupanya gambar pada papan masih belum dihapus. Bahkan tidak hanya itu, tulisan-tulisan baru di sekitar gambar justru bertambah. Kata-kata seperti “Jangan kau akhiri,” “Cintailah hidupmu,” dan “Pikirkan seseorang yang penting bagimu,” memenuhi hampir sebagian penuh papan buletin itu.
            Ketika sampai di rumah, aku berbaring sambil melayangkan pikiranku seperti masih berada dalam keramaian stasiun. Aku tidak ingat berapa lama aku berbaring dan melamun, sampai aku mencapai sebuah keputusan. Sebaiknya aku pergi ke mini market sebentar.
“Terima kasih atas langganan tetap anda,” salam sang kasir ketika aku membayar beberapa minuman dan makanan ringan yang kupilih. Aku melangkahkan kakiku keluar dari mini market, berjalan dengan langkah kecil ke arah yang berlawanan dengan rumahku. Entah mengapa aku kembali menemukan diriku di depan pintu masuk stasiun. Tanpa tujuan yang pasti, aku masuk ke dalam lorong stasiun mendatangi tempat di mana papan buletin berada. Aku sadar, rasa penasaranku kepada papan buletin tersebut tidak kunjung pergi. Ketika papan tersebut sudah berada tepat di hadapanku, aku diam terpaku menatapnya.
“Apa yang bisa kau dapatkan dari kematian?”
“Hidup lebih baik!”
 “Ada sesuatu yang berharga yang hanya bisa kau perjuangkan ketika hidup di dunia ini.”
“Segala sesuatu pasti akan menjadi lebih baik. Kau harus percaya.”
“STOP!!”
Counseling Hotline 0420-0000-0000.
“Ubah pikiranmu sekarang.”
“Jangan lakukan!”
“Semua orang terlihat bahagia, tetapi mereka memiliki masalah juga.”
“Marilah menyemangati satu dengan yang lain dan tetap menjalani hidup!”
“Semakin susah suatu masalah, semakin perlu kau tetap bertahan.”
“Aku pengacara. Apakah kau butuh bantuan? 090-5000-0000.”
Tulisan-tulisan tersebut memenuhi papan buletin jadwal kereta. Gambar-gambar seperti superman yang terbang menggapai orang yang melompat dari gedung tersebut, kasur bantal di bawahnya, serta orang-orang yang memegang trampolin, ikut menghiasi penuh papan. Pastinya jumlah orang yang melewati papan setiap hari tidak bisa dihitung dengan jari. Ini semua tentu dibuat oleh orang-orang yang berbeda. Padahal, bisa saja ilustrasi pertama yang merupakan gambar orang melompat hanyalah sebuah tingkah usil belaka. Aku terlarut dalam perasaan kagum bercampur heran.
            “Mengapa kau tidak membersihkan papannya?” Aku menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang petugas tua senior sedang berbincang dengan petugas muda yang cukup tampan. Aku ingat, petugas itulah yang tangannya mengenai kepalaku beberapa saat lalu, yang memiliki paras yang sangat berlawanan dengan sikapnya. “Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang melakukannya, Senpai?”, balasnya selalu dengan sikap acuh. “Aku tidak mau melakukannya, makanya aku menyuruhmu! Bagaimanapun itu bisa mengganggu orang-orang stasiun yang masih menggunakan papan ini.” “Hahh..,” petugas tampan tersebut menghela nafas panjang, kemudian dengan perlahan mengambil penghapus papan tulis dan mulai beranjak ke arah papan buletin, ya, kearahku. Aku mulai menghindar ketika ia mulai meletakkan tangan yang memegang penghapus ke atas papan. “Ya sudah, mau bagaimana lagi,” ujarnya.
            GRAB!
            Aku terkejut melihat seorang pria setengah baya dengan pakaian formal yang lusuh menggenggam tangan si petugas tampan yang hendak menghapus papan buletin itu. Ia menggandeng tas di tangan kirinya, dan usianya mungkin berkisar sekiar lima puluh tahun. Dengan suara yang sedikit gemetar ia mulai berkata, “Bisakah kau tidak menghapusnya?”
 “Hah?” balas sang petugas dengan herannya.
“Pesan pertama disitu... akulah yang pertama kali menuliskannya.”
Mendengar kata-kata tersebut aku ikut terkejut. Jadi dia orangnya? Pikirku sambil melangkah lebih dekat kebelakang pria setengah baya tersebut, penasaran dengan hal berikutnya yang akan terjadi.
“Uh-huh.. Benarkah?”, tanya sang petugas kembali.
“Ya.. aku yang menuliskannya.”
“Bukan itu maksudku.. Kau benar-benar ingin melompat?”
Pria setengah baya itu mulai menangis dan berkata, “Ya..,” Kemudian ia melanjutkan kalimatnya lagi, “Namun aku sudah meninggalkan ide tersebut...”
“Tu, tunggu sebentar,” petugas tampan itu mulai berlari ke arah suatu ruangan dimana seniornya berada.
Terlihat kedua petugas tersebut mulai beranjak ke arah papan buletin dan pria setengah baya yang masih menunduk di bawahnya sambil tersedu-sedu. “Maaf pak..,” ujar petugas tua menghampiri pria tersebut.
“Bagaimana bisa...” ujarnya dengan lesu dan membuat suasana menjadi hening. Aku merenung sesaat kemudian mulai melangkah mendekati ketiga pria tersebut.
“Umm, permisi,” ujarku memecah perhatian mereka semua.
“Aku bisa memotretnya dengan kamera digitalku. Mungkin itu bisa membuat semuanya tenang,” saranku, yang langsung disetujui oleh mereka.
Aku mengeluarkan kamera digital dari kantong jaket dan memulai memotret papan buletin di hadapanku. Aku pastikan semua pesan dalam papan terpotret jelas dan tidak ada yang terlewatkan.
“Terima kasih...,” ujar pria setengah baya kepadaku. Air mata yang menetes di wajahnya tadi sudah tidak terlihat.
“Kalau begitu, akan kucetak fotonya sekarang.”
“Biar kami saja yang mencetak foto itu.” Kata-kata petugas tua menyelaku sebelum aku sempat bertindak.
Aku menyerahkan memory card kepada petugas tua itu dan berjanji untuk bertemu kembali besok.
Esoknya, tanpa pikir panjang aku segera pergi menuju tempat papan buletin di stasiun. Aku melihat petugas tua yang baru saja kutemui kemarin, namun aku tidak menemukan petugas muda tampan didekatnya. Ketika pandangan kami bertemu, sang petugas tua itu langsung menyapaku, “Ahh, kau gadis yang kemarin. Terima kasih atas kameranya.”
“Aku kemari untuk mengambil memory card-ku kembali,” ujarku.
“Ya, ini.” Petugas tersebut menerahkan memory card yang ia bawa kepadaku, setelah itu mulai bercerita.
“Jadi kelihatannya, paman itu berniat melakukan bunuh diri gara-gara terlibat oleh hutang. Setelah menuliskan pesan tersebut di papan buletin, ia ingin mengakhiri sisa hidupnya. Namun, ia melihat kembali papan itu. Kata-kata yang tertulis dalam papan menelan segala perasaan putus asanya. Ia berkata, ia akan selalu menjaga foto-foto yang dihadiahkan kepadanya seperti menjaga hidupnya sendiri. Setelah ia mengambil foto-foto tersebut, ia kembali mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi.”
Peristiwa tersebut benar-benar merupakan suatu rangkaian acara yang tidak bisa kuduga. Kelihatannya peristiwa ini tidak memiliki dampak yang besar bagi dunia, tetapi bagiku dan pria setengah baya itu mungkin berarti.
Lima tahun telah berlalu sejak peristiwa tersebut terjadi. Aku menemukan kembali diriku di dalam stasiun Saitama. Perasaan yang tidak terucapkan mengalir dalam hatiku, membawa kenangan yang ada. Aku berjalan ke lorong dimana papan buletin yang dulu terletak, namun aku tidak mendapatkan apa-apa. Papan yang dulunya terletak di lorong ini kini telah tiada. Aku terdiam sebentar dan mendengar sebuah suara dari arah belakangku. “Permisi, kau ada waktu?”, aku menoleh kearah sumber suara dan mendapati seorang pemuda yang berdiri tegap, berparas tampan, dan ia mengenakan seragam stasiun yang biasanya hanya dapat kulihat di kantor-kantor kelas atas disini. Aku langsung mengenali muka itu, sifat, dan nada bicara itu.
“Apakah kau perempuan yang meminjamkan kameranya lima tahun yang lalu?”, tanyanya lagi.
“Iya, aku orangnya.”
“Sudah kuduga... Aku hanya berpikir mungkin memberitahumu lebih baik.”
Aku mulai diam dan mendengarkannya.
“Papan buletin itu sudah disingkirkan. Tidak ada yang menggunakannya lagi.
Beberapa hari yang lalu, seorang pria tua menanyakan tentang papan buletin tersebut. Dialah pria yang ingin bunuh diri dahulu. Dalam kurun waktu lima tahun, pria tersebut seolah menjadi seseorang yang baru. Ia melunasi hutang-hutangnya dan memiliki hidup yang stabil dengan keluarganya.”
 “Luar biasa...” Aku terkagum dan berpikir, pesan-pesan itu benar-benar membawa harapan di kehidupan dunia nyata.
“Sejak hari itu, aku selalu mengetahui bahwa masalah selalu muncul di kehidupan setiap orang tetapi...,” kata-katanya terhenti sesaat.
 “Sekarang, tidak peduli seberapa kacaupun keadaan, aku selalu percaya kalau selalu ada kebaikan yang muncul di suatu tempat,” sambungnya lagi dan menciptakan senyum di wajahku. “Tuan petugas, aku juga merasa demikian. Papan buletin itu tidak mengubah dunia atau semacamnya, tetapi, meski hanya sedikit saja, hal itu mengubah pandanganku tentang dunia ini. Aku sudah dapat melewati dan bertemu dengan orang-orang dengan lebih tenang sekarang. Selain itu, aku juga telah belajar banyak hal. Aku belajar bagaimana peduli akan kebahagiaan orang-orang tak dikenal yang belum pernah kutemui sebelumnya.”
“Yah, sebenarnya itu saja yang ingin kukatakan,” ujarnya mengakhiri pembicaraan.
 “Kalau begitu, aku akan pergi terlebih dahulu,” pamitku, sambil merenungkannya dalam hati. Ketika setiap orang mencapai satu titik dimana mereka dapat menghadapi orang yang lain dengan tenang, suatu hal yang baik pasti akan terjadi.




Sebelum aku melewati papan buletin itu, aku selalu merasa sesak dengan tempat di mana para orang-orang tak dikenal berkumpul
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar