Minggu, 22 November 2015

Tambatan Harapan Vytynanky

Tugas: Cerpen Budaya
Mata Kuliah: Penulisan Kreatif
Oleh: Hizkia Dwiatmaja
1400410023/Digital Communication
Surya University 

Tambatan Harapan Vytynanky




            “Selamat datang!” sapa seorang gadis melihat sekelompok pria yang masuk ke dalam kedai. Dari wajah mereka, terlihat usia yang berbeda dari muda hingga setengah baya. Baju-baju yang mereka gunakan sudah tidak rapi dan digunakan sekenanya, menandakan telah selesai dalam pekerjaan mereka. Muka-muka yang terlihat lelah kembali tersenyum melihat datangnya gadis yang menyapa mereka. “Hai Laurel, apa kabar? Bagaimana sekolahmu?” ujar seorang pria setengah baya dalam kelompok tersebut sambil berjalan menuju sebuah meja kosong yang telah tertata rapi. Gadis yang disapa Laurel itu mengenakan seragam lengan pendek dengan rok yang sedikit mengembang. Di atas roknya terdapat lap makan seperti pelayan kedai pada umumnya.
“Menjelang Natal sekolah sudah tidak sesibuk seperti biasanya, jadi aku bisa membantu ayah di kedai. Aktivitas sekolah hanya tinggal ujian akhir saja,” ucap Laurel dengan riang. Rambutnya yang diikat model ekor poni bergoyang-goyang ketika ia mengangguk sambil menuntun para pria itu ke tempat duduk. 

“Kami pesan Chernogov Borsch seperti biasa,” pria yang berusia cukup muda mulai memesan makanan mewakili yang lainnya. Laurel segera mengangguk dan berlari menuju dapur yang terletak tepat di bagian depan meja-meja. Ia mendapati ayahnya yang sedang memasak dan berteriak, “Ayah, lima mangkuk Chernogov Borsch seperti biasa, untuk paman-paman dari opera.” Keramahan pria-pria tersebut menunjukkan bahwa mereka sudah menjadi langganan setia dalam Kedai Mahazyn.
Kedai Mahazyn merupakan sebuah kedai makan kecil di pinggiran kota Lviv, Ukraina. Kedai ini memiliki ciri khas yaitu menyajikan Borsch sebagai menu andalannya. Hidangan yang dimasak dengan sayuran segar seperti kubis, bit, tomat, serta bawang ini, merupakan makanan khas Ukraina yang telah disajikan Kedai Mahazyn sejak pertama kali kedai berdiri. Dari bentuk luar kedai, bisa diduga bahwa besar kedai ini tidak melebihi sebuah kelas di sekolah elit. Dinding kedai yang dihiasi tanaman bambu sudah terlihat lumut dan retakannya, menunjukkan bahwa kedai ini sudah sangat berumur. Namun, arsitektur bangunan yang antik menampilkan ciri khas budaya Ukraina, tetap terlihat dan menunjukkan kesan kedai yang sederhana nan indah. Di langit-langit pintu masuk yang terbuat dari kayu, terdapat nama “Mahazyn” yang terbuat dari kain melambai-lambai seolah menarik pengunjung untuk mampir dan menikmati semangkuk Borsch hangat. Didalam kedai terlihat pengunjung yang tidak banyak, dengan muka-muka yang familiar. Mereka merupakan langganan setia yang sedang membungkus Borsch untuk dibawa pulang, maupun menikmatinya langsung ditempat. Meskipun kedai ini jarang terlihat ramai, namun Laurel dan para pengunjung kedai selalu terlihat akrab dan menikmati setiap suasana dalam kesederhanaan.
            “Lima mangkuk Chernogov Borsch sudah siap disajikan,” seru seorang lelaki tua yang selalu terlihat sibuk di dapur kedai. Laurel segera berlari kecil menuju dapur dan mendapati ayahnya telah menyiapkan Borsch yang telah tertata indah. Kuah kental dari campuran bumbu dan sayuran terlihat begitu merah keemasan dilengkapi dengan brokoli dan kubis yang tertata rapi di sisi mangkuk. Aroma bawang putih yang bercampur dengan buah bit begitu menggelitik hidung dengan nikmatnya. Laurel segera meletakkan Borsch-borsch tersebut diatas nampan dan membawanya menuju meja dimana pria-pria opera itu berada. “Silahkan dinikmati, Chernogov Borsch spesial buatan Kedai Mahazyn!” Melihat seluruh Borsch tersebut, pria-pria yang telah menunggu mulai menelan ludah dan mengambil mangkuknya masing-masing dengan bergairah.
“Jadi apa rencanamu di hari Natal nanti?” Sambil menikmati Borsch, sekelompok pria tersebut mulai membuka perbincangan akrab dengan Laurel. Laurel mulai beranjak dan duduk santai bersama-sama dengan mereka. “Aku dan ayahku berencana untuk merayakan Natal disini. Kami akan tetap membuka kedai dan menghiasinya dengan Vytynanky, sama seperti tahun lalu,” Laurel bercakap dengan antusiasnya.
Vytynanky sudah menjadi tradisi kami, warga Ukraina. Setiap kami merayakan acara besar, semua orang pasti akan membuat Vytynanky. Kertas-kertas dibuat sedemikian rupa menjadi bentuk ataupun motif yang indah. Kemudian, kertas-kertas yang sudah dibentuk ditempelkan di setiap rumah dan gedung. Seni menghias dengan kertas, itulah Vytynanky.
“Wah, pasti akan indah sekali. Kami akan datang untuk melihatnya. Semoga Kedai Mahazyn akan sangat ramai,” ujar pria-pria tersebut kepada Laurel. “Mungkin kami juga bisa memeriahkan dengan drama khusus opera, ha-ha,” tambah pria yang lain. Paman-paman dari opera, begitulah Laurel memanggil mereka. Pekerjaan mereka yang sehari-harinya beraktivitas baik di belakang maupun di depan panggung Teater Opera tidak pernah menjemukan baginya. “Tentu saja boleh!” Sahut Laurel.
            Perbincangan yang seru berakhir dengan pamit dan terima kasih. Setelah membayar Borsch, para paman dari opera berjanji akan datang kembali dan beranjak pergi dari kedai. Malam yang semakin larut menunjukkan bagaimana aktivitas dalam kedai sudah perlu diakhiri. Laurel mulai merapikan semua perlengkapan di dapur, sedangkan ayahnya masih sibuk memastikan kembali semua jendela dan lemari telah tertutup rapat.
            “Uhuk.. uhk...,” ayah Laurel terbatuk sembari memegang bingkai jendela yang sedang ia tutup. Laurel menengok dengan sedikit khawatir, “Ayah sebaiknya pulang ke rumah dan cepat istirahat terlebih dahulu. Laurel bisa merapikan sisanya di kedai.” Namun, ayahnya melihat Laurel kembali, “Tidak apa-apa, ayah tidak seberapa lelah. Kita bisa merapikan kedai dan pulang bersama-sama.” Melihat ayahnya, Laurel segera membersihkan kedai dengan sigap agar semakin mempersingkat waktu. Setelah ia melihat bahwa segala perlengkapan telah rapi dan bersih, Laurel segera memanggil ayahnya untuk pulang. Dari tindakannya, terlihat ia begitu ingin cepat sampai di rumah dan memberikan waktu pada ayahnya untuk beristirahat.
Setelah mengunci rapat pintu kedai, Laurel dan ayahnya mulai beranjak pulang ke rumah. Bulan sudah bersinar sangat terang dilihat dari jalanan depan kedai Mahazyn. Laurel melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul sebelas malam. Jam pulang yang cukup malam sudah menjadi hal yang biasa bagi Laurel. Setiap ada pengunjung yang datang setelah kerja, akan tetap dilayani demi nilai keakraban dengan pelanggan. Memang, rumah mereka tidak seberapa jauh dari Kedai Mahazyn. Bila dengan berjalan kaki, mungkin hanya dibutuhkan waktu tidak lebih dari lima belas menit. Namun perjalanan dapat menjadi melelahkan mengingat pekerjaan kedai yang telah mereka lalui sepanjang harinya.

“Laurel, ada yang ingin ayah bicarakan,” ujar ayah Laurel dengan mimik wajah yang terlihat serius. Ia duduk di ruang makan rumah, terlihat secangkir teh hangat di atas meja. Dengan sedikit bingung, Laurel mendatangi ayahnya dan duduk tepat di sebelahnya. “Ada apa yah?”  tanya Laurel. “Ayah sedang memikirkan untuk menutup Kedai Mahayzn. Belakangan ini pekerjaan tidak terlihat begitu baik, lagipula kelihatannya badan ayah sudah tidak sanggup lagi untuk melakukan pelayanan di kedai sepanjang hari.” Laurel terdiam sejenak dan tidak bisa menggambarkan perasaannya. Ia memang memaklumi bahwa belakangan ini keadaan ayahnya sudah kurang baik. Pada awalnya Laurel memang tahu bahwa ayahnya hanya kelelahan dan butuh istirahat, namun ia tidak menduga bahwa ayahnya sudah memikirkan untuk menutup Mahazyn. “Ayah akan menjual kedai kita?” tanya Laurel tanpa bisa menggambarkan perasaannya. Ia tahu bahwa dirinya sedang bingung dan terkejut mendengar pendapat ayahnya. “Ya, tetapi mungkin ayah akan memikirkannya lagi,” ujar ayah Laurel menutup pembicaraan dan beranjak ke kamarnya untuk beristirahat.
Seminggu sebelum hari Natal, jalan-jalan di kota Lviv telah dipenuhi oleh pohon natal dan hiasan Vytynanky. Melewati gedung Thater Opera, Laurel melihat model Tuhan Yesus yang terbuat dari kertas terpampang di pintu gedung yang megah. Di bagian sisi gedung, terlihat pria-pria dengan tampang dan umur yang beragam sedang menghiasi sisi gedung Theater tersebut. “Ah, paman-paman opera!” sapa Laurel dengan nada setengah berteriak, yang menunjukkan semangatnya yang senantiasa terpancar. Para pria yang sedang sibuk menghias segera menghentikan pekerjaannya sesaat dan menoleh ke arah datangnya suara. Mereka mendapati sesosok gadis remaja dengan seragam dan tas sekolahnya. “Hai Laurel, baru pulang dari sekolah?” ujar mereka membalas sapaan Laurel. “Iya, tadi habis ujian akhir sekolah. Besok hari terakhir, yay!” teriak Laurel dengan nada yang riang. Ia segera berlari kecil menuju paman-paman dari opera. Pembicaraan akrabpun tidak terelakkan.
“Waw, Vytynanky model ini luar biasa bagus. Paman-paman yang membuatnya?” 
“Benar, kami dibantu oleh beberapa penonton opera juga, sehingga bisa menjadi seperti itu. Oh ya, bagaimana dengan Mahazyn? Apa kamu sudah menyiapkan kertas-kertas Vytynanky?” Mendengar pertanyaan tersebut, Laurel menjadi terdiam. Tampangnya berubah menjadi terlihat sedih. “Uhm, Laurel, ada apa?” melihat wajah Laurel, salah satu pria opera bertanya kepadanya. Laurel memaksakan dirinya untuk tersenyum kecil sambil berkata, “Tidak apa-apa, aku akan menyiapkan kertas untuk Vytynanky nanti. Paman-paman pasti datang ya!” Ia kemudian berlari meninggalkan para pria tersebut dan gedung Theater Opera. 
            “Ayah, apa ayah benar-benar ingin menutup Kedai Mahazyn? Apa tidak bisa menunggu minimal hingga hari Natal?” Laurel melihat ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Laurel, tadi pagi sudah ada seseorang yang datang karena tertarik dengan penawaran bangunan kedai ini. Ia menawarkan dengan harga yang cukup baik dan sudah ingin membelinya tepat sebelum hari Natal,” kata-kata ayahnya terhenti sebentar. “Kita bisa menggunakan dananya untuk membangun karir baru yang tidak terlalu menyibukkan dan sebagai biaya kelanjutan sekolahmu tahun depan.” Mendengar perkataan ayahnya, Laurel terpaku tidak bisa melakukan apa-apa. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara. Laurel segera beranjak ke kamarnya sambil menggigit bibir.
            Di dalam kamar, Laurel hanya terbaring di atas kasur. Ia menyembunyikan air mata yang mengalir dengan bantal di sisinya. Tidak heran bantalnya menjadi basah akibat air mata. Suara isak tangis ia tahan sekuat mungkin agar tidak terdengar oleh ayahnya. Perasaannya bercampur aduk. Sebenarnya, ia sangat ingin melakukan Vytynanky di hari natal nanti. Laurel juga sangat menyukai suasana Kedai Mahazyn, rasa Borsch yang tidak terlupakan, para pelanggan yang selalu setia, dan paman-paman dari opera. Namun apa daya, ia juga mengetahui bahwa ini semua demi kebaikan ayahnya dan masa depannya. Kondisi fisik ayahnya sudah tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan yang terlalu sibuk. Laurel tidak menginginkan ayahnya jatuh sakit.

            Hari terakhir ujian sekolah menandai akhir dari pembelajaran Laurel di tahun ini. Laurel berjalan pulang dengan lesu dari sekolah menuju rumahnya. Saat ia melewati gedung Theater Opera, Vytynanky Natal sudah terpasang dengan sangat indah. Kemegahan rumbai-rumbai kertas yang menyerupai tirai, pohon natal kertas dengan bola-bola hiasannya, serta model kertas Tuhan Yesus, itu semua membuat Laurel sedikit iri. Belum sempat ia berlalu dari gedung Theater Opera, seorang paman opera berlari ke arahnya. Pria tersebut terlihat begitu terburu-buru, nafasnya terengah-engah. “Laurel! Ayahmu jatuh pingsan di Mahazyn!”
            Laurel tersentak kaget. Tubuh dan suaranya bergetar. Hal yang paling ia khawatirkan kini telah terjadi.
“Lalu dimana ayah sekarang...?”
“Ayahmu sekarang berada di rumah sakit Lviv, seorang pelanggan tetap yang kebetulan datang ke kedai menemukannya.”
“Paman, tolong antarkan aku ke rumah sakit tempat ayah berada!”
             Rumah sakit Lviv, rumah sakit ternama di kota Lviv. Di rumah sakit ini, kesehatan pasien dari berbagai kelas dan kalangan selalu dijamin dan diutamakan. Dalam sebuah ruangan berwarna putih, dilengkapi dengan tirai biru dan sebuah vas yang berisikan bunga pada meja, Laurel mendapati ayahnya terbaring lemah di atas tempat tidur. Melihat anak perempuannya datang dengan wajah yang cemas, ayah Laurel hanya bisa tersenyum.
“Kata dokter hanya kelelahan biasa dan anemia. Tidak perlu terlalu khawatir.”
“Tentu saja aku khawatir! Bagaimana tidak, ayah terlalu memaksakan diri.”
“Ya, mungkin ayah akan benar-benar melepaskan Kedai Mahazyn.”
“Sudah ayah tidak perlu memikirkan hal-hal itu. Untuk sekarang, ayah istirahat saja.”
            Laurel beranjak keluar dari kamar pasien dengan perasaan sedih. Di lorong rumah sakit, ia bertemu dengan paman-paman dari opera. Kelihatannya mereka meninggalkan pekerjaan mereka di gedung Theater Opera hanya untuk menjenguk ayah Laurel. “Bagaimana keadaan ayahmu, Laurel?” tanya seorang pria opera mewakili pria-pria lainnya. “Ayah sudah dapat pulang sebelum Natal. Sudah tidak apa-apa. Namun sekarang aku tidak tahu lagi apa yang sebaiknya aku lakukan.”
            Laurel mulai menceritakan kepada paman-paman opera bagaimana ia khawatir akan keadaan ayahnya. Namun di lain sisi, Laurel juga mengatakan bahwa ia begitu ingin untuk membuat Vytynanky di Kedai Mahazyn saat hari Natal nanti. Keinginan ayahnya untuk menjual Kedai Mahazyn karena masalah kesehatan dan keuangan bagi kelanjutan sekolah Laurel, menjadi persoalan yang tidak mudah dilalui bagi Laurel. Air mata mulai mengalir di pipi Laurel ketika ia menceritakan segala kecemasannya. Paman-paman opera yang melihat Laurel tahu, bahwa gadis kecil di hadapan mereka sedang membutuhkan telinga untuk berbagi pikirannya.
“Kalau begitu Laurel, apa yang ingin kau lakukan sekarang?” tanya seorang paman dari opera setelah mendengarkan Laurel. “Apa yang hatimu inginkan, lakukanlah itu.” Mendengar perkataan tersebut, Laurel mulai menyeka air matanya dan berpikir.
“Yang aku ingin lakukan...?”
“Bila kau inginkan Vytynanky di Mahazyn, kami akan membantumu. Bila kau merelakan Mahazyn demi persekolahan masa depanmu, itupun keputusan yang hanya bisa kau yang memilihnya.”
            Laurel terpaku dengan kagum. Perkataan paman-paman dari opera seperti membukakan jendela pikiran Laurel. Raut wajahnya kini berubah menjadi penuh keyakinan. Tatapannya sudah tidak lagi mengandung keraguan. “Paman-paman opera, terima kasih!” ujar Laurel dengan semangat yang kukuh sembari ia beranjak pergi.

            Sehari sebelum hari Natal, kesehatan ayah Laurel sudah pulih kembali. Ia bangun lebih pagi untuk pergi ke Kedai Mahazyn demi menyiapkan persetujuan penjualan kedai dengan pihak yang telah berjanji untuk membelinya. Ia mencari Laurel, tetapi tidak menemukan gadis kecilnya di manapun, termasuk di kamarnya. “Mungkin Laurel masih marah tentang keputusan ini, sehingga ia membutuhkan waktu sendiri,” gumam ayah Laurel dan mulai berjalan menuju Kedai Mahazyn.
            Sesampainya di depan Kedai Mahazyn, alangkah terkejutnya ayah Laurel melihat hiasan-hiasan yang terpasang pada bangunan kedai. Rumbai-rumbai Natal dari kertas, burung merpati kertas, model pohon Natal dan hiasannya terpajang di seluruh bagian kedai. Kedai Mahazyn dengan dinding yang retak dan berlumut kini ditutupi berbagai hiasan. Di hadapannya, kedai yang indah berdiri berhiaskan kertas warna-warni.
“Ini... Vytynanky?” ujar ayah Laurel dengan mata yang terpaku pada warna-warni keindahan Kedai Mahazyn. “Hai ayah! Selamat datang di Mahazyn!” sesosok gadis dengan rambut ekor poni dan mengenakan seragam pelayan berwarna cerah keluar dari dalam kedai. “Laurel, bagaimana kau bisa mendapatkan kertas-kertas ini?” tanya ayahnya heran. “Paman-paman dari opera membantuku menghias kedai. Kertas-kertas ini adalah sisa dari hiasan gedung Theater Opera.”
“Oh ya, ayah. Ada yang ingin aku bicarakan,” nada suara Laurel tiba-tiba berubah menjadi lebih serius. Pandangan ayahnya tertuju kepada Laurel dan banyaknya orang yang berdiri rapi di belakang Laurel. Tidak hanya para pria dari opera, ia juga melihat para pelanggan tetap kedai turut berdiri di hadapannya.
“Kami mohon, jangan jual Mahazyn!” ucap Laurel dan setiap orang yang berdiri tersebut dengan serentak.
“Ayah, kedai ini sudah menjadi seperti keluarga bagiku. Aku tidak ingin kehilangannya.”
“Tetapi Laurel, bagaimana dengan kelanjutan sekolahmu? Selain itu ayah juga sudah tidak...”
“Biarkan aku yang mengambil alih Kedai Mahazyn. Aku ingin selalu berada di sini!”
“Eh..?”
“Ijinkan aku sedikit egois yah, karena aku ingin mengikuti seperti keinginan hatiku yang terdalam. Aku tidak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Bekerja di Mahazyn, menyajikan Borsch kepada setiap orang di sini, itu yang menjadi kebahagiaan dan mimpiku sekarang. Aku juga akan belajar lebih giat lagi dalam membuat Borsch.”
            Ayah Laurel tidak dapat berkata-kata. Ia hanya bisa tersenyum melihat ketetapan hati Laurel yang penuh dengan resolusi. “Kami juga memohon agar Kedai Mahazyn tidak ditutup. Kedai ini sudah menjadi tempat kedua kami selain Theater Opera. Borsch di sini adalah Borsch yang terenak yang ada dari seluruh Lviv.” Ujar pria-pria dari opera menambahkan perkataan Laurel sambil membungkukkan badan.
            “Hahaha... baiklah kalau memang itu yang menjadi keinginan kalian, aku tidak ingin resolusi dan Vytynanky yang telah kalian buat susah-susah terbuang dengan sia-sia.” Akhir perkataan Ayah Laurel yang kagum langsung memicu teriakan bahagia dan tangisan haru bagi setiap orang yang berada di Kedai Mahazyn.


Lima tahun telah berlalu sejak Natal yang mengubah hidup bagi Laurel. Di Natal tahun ini, Vytynanky tetap meriah dan indah bagi warga Ukraina. Lampu dan kertas warna-warni, terlihat bercahaya di penghujung kota Lviv. Setiap warga Ukraina yang melihatnya mulai bertanya-tanya.
“Hei ada apa di ujung jalan sana?”
“Kamu tidak tahu? Di sana ada kedai Borsch yang sangat terkenal. Borsch di sana adalah Borsch yang paling enak dari seluruh Borsch yang ada di Ukraina!”
“Aku dengar, setiap tahunnya di hari Natal, mereka mengadakan Vytynanky indah berwarna-warni yang menjadi ciri khas kedai tersebut”
“Oh, kedai itu! Aku mengetahuinya, karena di sana pemiliknya adalah seorang gadis yang sangat cantik, kami sudah menjadi pelanggan setia di sana! Hahaha.”
“Eeeeh... Benarkah? Baiklah ayo kita kunjungi kedai itu, sambil merayakan malam Natal kali ini dengan semangkuk Borsch hangat.”




Tambatan Harapn Vytynanky/Selesai
Hizkia Dwiatmaja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar